Ahensi ke Ahensi
Ahensi (begitulah orang-orang agency menyebutnya), tempat kerja pernah gue cap sebagai tempat yang ga akan pernah gue singgahi sebagai tempat kerja gue karena jam kerjanya yang lumayan gila. Kadang ga mengenal jam pulang dengan ritme kerja seperti musik heavy metal. Tapi justru disitulah gue terdampar selama lebih dari 3 tahun, menyesalkah?
Adalah masbro Herdiansah ini yang bertanggung jawab dalam “menjerumuskan” gue ke dunia ahensi, khususnya digital agency. Selama gue jadi freelancer gue banyak dapet project dari ahensi melalui masbro yang lebih dikenal dengan panggilan mas Ade ini. And I thank him for that.
Gue tergolong baru di dunia ahensi ini, baru mulai nyemplung di ahensi sekitar tahun 2011 setelah 1,5 tahun mencoba peruntungan di dunia Freelance. Beda dengan sebelumnya di software house dimana gue sempat bertahan sampai 5 tahun di satu perusahaan, di ahensi gue hanya bertahan rata-rata 1 tahun di satu perusahaan.
Lalu pertanyaannya adalah apakah benar kerja di ahensi persis seperti yang gue takutkan dulu? Mari kita bahas satu per satu ahensi yang pernah gue singgahi.
Disclaimer: kondisinya mungkin sudah berubah sejak terakhir gue kerja disitu.
1. Toolbar Digital
Saat gue mulai hopeless dengan dunia freelance mendadak ada panggilan dari perusahaan head hunter untuk interview di perusahaan ini dan alhamdulillah keterima sebagai freelance web developer disini.
Toolbar Digital ini adalah anak perusahaan dari Pratama Group, sebuah ahensi yang sudah berumur lebih dari seperempat abad. Lokasi kantornya di Rawamangun dan ada banyak expat dari India disini. Ownernya biasa dipanggil bu Merry. Satu pesan beliau saat one-on-one session yang gue inget banget sampe sekarang, “Kalo kamu mau sukses, jangan konsumtif!”. Lalu pulang kantor gue mampir ke Midnight Sale. Maap bu saya anaknya cepat lupa. 🙁
Pada saat gue bergabung tahun 2011, Toolbar Digital baru berumur sekitar 2 tahun dengan jumlah pegawai sekitar 10 orang. Tim technical nya cuma ada gue doang. Untungnya workload gue masih terhitung normal. Mungkin karena dalam beberapa project, porsi kerjaan untuk web development tidak sebanyak porsi kerjaan yang lain (media dan content). Gue bahkan masih sempat ngerjain project freelance juga. Oh ya, berhubung status gue disini freelance web developer, gue diijinkan untuk ngantor cuma 3 hari dalam seminggu dan gue bebas mengerjakan project freelance baik diluar maupun dalam jam kantor. Dan karena status gue cuma freelancer, gue ga dapat benefit apapun, seperti jaminan kesehatan, jamsostek, bonus, dan lain-lain.
Sebulan kemudian gue ajak mas Ade untuk bergabung, juga sebagai freelancer, karena saat ituToolbar Digital sedang butuh interactive developer. Itulah momen dimana dia akhirnya masuk ke dalam ahensi lagi setelah selama bertahun-tahun diluar ahensi.

Pengalaman pertama bergabung dengan ahensi ini rasanya asing banget buat gue. Banyak istilah yang ga gue kenal dan suasana kerja yang jauh berbeda dengan kantor gue sebelumnya. Kalo di kantor sebelumnya gue lebih banyak bertemu dengan orang-orang geek yang kurang suka gaul, di ahensi gue justru bertemu dengan banyak orang supel yang gaulnya ga ketulungan dengan sense of humor yang diatas rata-rata.
Untungnya disini gue ketemu dengan banyak orang-orang baik hati yang mau membimbing gue keluar dari kegaringan.
2. Digital Identity (DId)
Sekitar bulan Juli 2012, gue dapet panggilan interview lewat Facebook Message yang dikirim melalui LinkedIn. Weird, I know. Setelah proses interview, gue pun bergabung dengan Digital Identity, unit bisnis digital dari Fortune Indonesia, perusahaan ahensi tertua di Indonesia yang didirikan oleh pak Indra Abidin.
Pada saat gue bergabung, DId baru berumur sekitar 3 tahun dengan jumlah pegawai kurang dari 20 orang. Disini gue mulai paham dengan seluk beluk ahensi. Mulai kenal dengan ahensi-ahensi yang ada di Jakarta, mulai paham bedanya ATL dan BTL, mulai paham dengan struktur organisasinya, mulai ngerti beda role strategic dengan creative, mulai tahu apa sebenarnya yang dikerjain sama orang content, mulai terbiasa disebut technologist ketimbang programmer atau developer, dan lain-lain.

Seperti di Toolbar Digital, disini gue juga ga punya team mate. Awalnya workload gue cukup normal, mungkin karena saat gue bergabung fokus DId lebih ke media, berhubung mas Firzi (business director DId, anaknya pak Indra) juga sebelumnya dari unit bisnis media. Seiring pergeseran fokus ke development, pelan-pelan workload gue pun meningkat. Begitu gue kewalahan, sebagian project pun dilempar ke vendor. Dan ada masanya dimana gue akhirnya tumbang terkapar sakit karena ga kuat handle multiple projects sendirian. Untungnya kemudian temen developer seperjuangan di Toolbar Digital, Ryan Riatno, berhasil gue ajak bergabung buat berbagi workload.
Overall, gue cukup hepi kerja disini karena selain lokasi kantor yang cukup dekat dari rumah (cuma 30 menit dari rumah, sekali naik angkot dari Cipedak ke Ragunan), orang-orangnya juga asik, seru dan kompak banget.
3. Mirum Agency
Mirum Agency sebelumnya dikenal dengan nama XM Gravity (XMG), berganti nama menjadi Mirum sejak awal 2015 lalu. Gue tahu tentang XMG dari teman kerja di DId, konon katanya XMG adalah the best digital agency in town. Dari situ gue mulai banyak baca tentang XMG dengan CEO nya yang sangat inspiratif, Kevin Mintaraga. Beruntung gue bisa kenal dengan Kevin sekitar Agustus 2013 saat dia baru mulai merintis Bride Story yang sekarang sudah menjadi leading wedding portal di Indonesia. I adore him since then. Dan ketika dia menawarkan gue untuk kerja di XMG, dengan senang hati gue terima tanpa banyak pertimbangan. Tahu apa itu pertimbangan? Itu nama marga, contohnya Garth Pertimbangan. Oke maap garing.

Pengalaman kerja di XMG sungguh luar biasa buat gue. Disini gue belajar banyak hal dari orang-orang hebat. Standar kerja yang tinggi, semangat kerja yang luar biasa, teamwork yang solid, dan visi yang jauh ke depan adalah beberapa hal berharga yang gue pelajari disini.
Hal yang paling gue suka di XMG adalah XMG mengutamakan employee happiness. Banyak hal dilakukan perusahaan untuk menjaga employee untuk tetap happy, seperti outing sampai keluar negeri, makan siang gratis, nonton bioskop bareng (#XMNobar), XM Award, kebijakan pulang jam 2 siang di hari jumat minggu terakhir (atau dikenal dengan Fast and Fridayous), dan masih banyak lagi. Menurut Kevin, tujuan XMG dari awal didirikan bukan untuk menjadi the best agency, tapi the happiest agency. Dan karena itu di XMG ada sebutan Happy Agents untuk para employee nya.

Pengalaman bekerja di XMG menjadi bekal yang berharga dan membuat gue cukup berani untuk memulai usaha sendiri. XMG menjadi ahensi terakhir gue sebelum akhirnya mencoba untuk nekad mendirikan perusahaan sendiri. Thanks to papi bos Nanda Ivens dan Kevin untuk dukungannya.
So, menyesalkah gue ‘terjerumus’ di ahensi? Awalnya gue kira begitu. Lalu gue teringat bagaimana dulu gue berusaha untuk lepas dari ‘kurungan’ cubicle yang kaku dan membosankan dengan cara kerja berpindah-pindah meja dan sekali-sekali kerja dari cafe.
Ketika masuk ahensi, gue melihat lingkungan kerjanya sesuai dengan karakter gue yang lebih suka bekerja ditempat yang mendukung kreativitas dan tidak membosankan. Ini yang membuat gue cepat beradaptasi dan merasa nyaman kerja di ahensi. Di ahensi gue juga belajar yang namanya pekerjaan bisa menjadi ruang bermain yang menantang dan menyenangkan.
Semoga nantinya gue juga bisa membuat perusahaan gue menjadi tempat kerja yang menyenangkan buat tim gue, seperti halnya yang dilakukan Vishan Lakhiani dengan Mind Valley nya.
Aamiin.
* featured image was taken from here
Leave a Reply